Bulan April memiliki
arti dan berkah tersendiri bagi warga Kabupaten Simalungun dan Kota Pematangsiantar. Karena setiap bulan April, kedua daerah ini merayakan hari
jadinya masin masing, meski hari dan tanggalnya berbeda.
Dari perhitungan angka
yang ditetapkan, Kabupaten Simalungun lebih dulu ada dari Kota Pematangsiantar.
Hanya saja ada perbedaan perhitungan tahun kesepakatan soal tangal kelahiran.
Peringatan hari jadi Kota Pematangsiantar dihitung mulai dari kelahiran Raja
Siantar Sangnawaluh Damanik, 24 April 1871. Sementara hari jadi Kabupaten
Simalungun, tahun kelahirannya bukan dihitung dari kelahiran seorang raja.
Tetapi dihitung berdasarkan tanggal pembuatan Pustaha Laklak (pustaka kuno,red)
yang ditemukan di Talang Tuo Palembang (Sumatera Selatan), yakni 11 April 1833.
Meski perhitungan dan
tanggal penetapan tersebut masih saja berpeluang untuk dikritisi kembali.
Merujuk fakta sejarah, cikal-bakal Simalungun diperkirakan sudah ada sejak
zaman Kerajaan Nagur, sekitar tahun 500-an. Rajanya bermarga Damanik. Sementara
marga-marga Simalungun lainnya, diperkirakan baru ada di wilayah ini setelah
tahun 1367 pada zaman Kerajaan Purba Desa Nauwaluh (Batak Timur Raya).
Masuknya marga-marga
lain ini jelas beragam versi sejarahnya. Namun salah satunya mengungkapkan
adanya keterkaitan etnik Karo, Melayu dan Pakpak dalam perkembangan marga
Simalungun. Khususnya sejak perkembangan Kerajaan Batak Timur Raya. Sedangkan
marga-marga Toba, Mandailing baru masuk ke Simalungun sekitar tahun 1912 pada
masa penjajahan Belanda. Terutama saat pembukaan persawahan Bah Kora I di
Siantar Sawah sekarang. Simalungun sebelumnya terdiri dari beberapa wilayah
kerajaan. Termasuk Kerajaan Siantar yang akhirnya menjadi ibukota Kabupaten
Simalungun. Dalam perjalanan waktu, Kota Pematangsiantar akhirnya berdiri
sendiri dan berkembang menjadi sebuah daerah otonom yang terpisah dari
Kabupaten Simalungun. Perkembangan itu sarat dengan perjuangan-perjuangan serta
pergumulan-pergumulan silih berganti, termasuk pada masa penjajahan Belanda,
Jepang, zaman kemerdekaan, orde baru hingga era reformasi sekarang.
Tahun 1871 dianggap
sebagai perhitungan tahun berdirinya Kota Siantar, hingga sekarang usianya
sudah 136 tahun. Meskipun sebenarnya dari persfektif historis, tahun 1871 yang
diabadikan menjadi tahun kelahiran Kota Siantar, masih tetap bisa dikritisi
banyak orang. Meskipun Pemko dan DPRD Siantar telah sepakat membuat tahun
kelahiran Sangnawaluh itu menjadi kelahiran Siantar. Hitungannya, saat
dinobatkan menjadi Raja Siantar pada tahun 1888, usianya sudah men
capai 17
tahun.
Yang jadi soal, jika
tahun itu yang jadi acuan, berarti zaman Kerajaan Marropat, di mana Siantar
merupakan salah satu di dalamnya jadi tak ikut dihitung. Padahal Kerajaan
Siantar sudah ada sebelum Raja Sangnawaluh dilahirkan. Karena pada tahun 1833
saja, saat pembentukan Kerajaan Marropat, Siantar sudah ikut di dalamnya.
Meskipun Kerajaan Marropat (Nan Empat) sendiri ternyata tak bertahan lama,
karena satu diantaranya yakni Kerajaan Silou kemudian pecah menjadi empat
Kerajaan, yang terdiri dari Dolok Silou, Raya, Purba dan Silimakuta.
Hal ini mengakibatkan
pada tahun 1904, di Simalungun telah ada 7 Kerajaan yang memiliki kedaulatan
masing-masing. Berdirinya Kerajaan Marpitu boleh dikatakan merupakan kelanjutan
dari Kerajaan Marropat sebelumnya. Saat zaman Kerajaan Marpitu berkuasa,
Kolonial Belanda sudah semakin menancapkan kuku kekuasaannya di Simalungun,
termasuk mempengaruhi Raja-raja Simalungun agar mau tunduk kepada Belanda. Tentu
saja, kehendak Belanda ini mendapat perlawanan dari Raja-raja Simalungun.
Masing-masing Kerajaan
Marpitu itu adalah, Kerajaan Dolok Silou, Kerajaan Silimakuta, Kerajaan Raya,
Kerajaan Purba, Kerajaan Siantar, Kerajaan Panei dan Kerajaan Tanah Jawa.
Setiap kerajaan ini melaksanakan tugas pemerintahannya dipimpin seorang Raja,
dibantu Dewan Kerajaan yang disebut Harajaan, yaitu semacam kabinet yang
terdiri dari pembesar negeri. Kepada mereka diberikan gelar bervariasi menurut
kebiasaan masing-masing kerajaan.
Kerajaan Siantar
sendiri waktu itu sudah dipengaruhi kekuasaan Belanda, hingga akhirnya
menandatangani Perjanjian Pendek dengan Belanda (Korte Verkalring). Namun dari
berbagai sumber sejarah Simalungun diketahui, Sangnawaluh bukanlah merupakan
pendiri Kerajaan Siantar tetapi penerus tahta kerajaan. Karena Sangnawaluh
sudah merupakan pewaris pendahulunya (ketujuh) yang menjadi Raja Siantar pada
tahun 1888. Hal ini merujuk dari silsilah Kerajaan Siantar, diketahui Rajanya
secara berturut-turut adalah Raja Naihorsik – Raja Hitam – Raja Nai Halang –
Raja Namaringis – Raja Namartuah – Raja Mopir – Raja Sangnawaluh – Tuan Torialim
(Tuan Marihat) dan Tuan Riahta Damanik (Tuan Sidamanik).
Kedua Raja Siantar
terakhir inilah yang kemudian melakukan Perjanjian Pendek dengan Belanda
tanggal 16 Oktober 1907. Seterusnya, Kerajaan Siantar dipangku oleh Tuan Riah
Kadim (Tuan Waldemar) dan terakhir hingga meletusnya Revolusi Sosial di
Simalungun 1946, Kerajaan Siantar dipimpin Tuan Sawadim Damanik. Sebenarnya
dapat disebutkan, bahwa sejak adanya Perjanjian Pendek antara Raja-raja
Simalungun dengan Belanda, berakhir pulalah kekuasaan Raja-raja di Simalungun
sekitar tahun 1907. Karena sebelumnya Kerajaan Panei, Raya, Silimakuta, Purba,
Tanah Jawa, Dolok Silou sudah lebih dulu menandatanganinya.
Adapun isi Perjanjian
Pendek itu antara lain: Raja harus mematuhi semua perintah dan peraturan
Gubernur General, Raja harus mengakui kerajaannya menjadi bagian kerajaan
Hindia Belanda, Raja tidak boleh mengadakan hubungan dengan pihak asing, Raja
tidak memiliki wilayah laut dan pantai, Struktur pemerintahan berlaku hukum
adat sepanjang tidak bertentangan dengan peradaban Belanda serta segala sesuatu
harus mendapatkan persetujuan Residen atau wakilnya.
Akibat dari perjanjian
tersebut, makin lemahlah kedudukan Raja-raja Simalungun. Hal ini makin
mempercepat arus penguasaan wilayah Simalungun oleh Belanda yang kemudian
menjadikannya daerah perkebunan. Karena memang, kondisi geografis tanah
Simalungun sangat memungkinkan untuk dijadikan lahan perkebunan.
Controleur Belanda yang
sempat berkedudukan di Perdagangan pada tahun 1907 di pindahkan ke
Pematangsiantar. Sejak itu Kota Pematangsiantar mulai berkembang menjadi daerah
yang banyak dikunjungi pendatang baru. Apalagi, dibukanya jalan-jalan baru ke
luar daerah Simalungun, makin membuat banyak orang berlomba-lomba hijrah ke
daerah ini. Tahun-tahun berikutnya, para pemodal asing membuka lahan-lahan
perkebunan di daerah-daerah sekitar Pematangsiantar.
Hampir bersamaan dengan
pembukaan perkebunan tersebut, pembangunan irigasi juga semakin diintensifkan,
sering dengan makin meningkatnya para petani yang datang dari daerah Tapanuli.
Meskipun perpindahan itu sempat terkendala beberapa waktu akibat berjangkitnya
penakit kolera yang menimbulkan banyak korban jiwa, bahkan menyebabkan sebagian
ada yang kembali ke daerah Tapanuli.
Dibukanya jalan raya
dari Balige ke Pematangsiantar pada athun 1915 memberi arti tersendiri bagi
orang-orang yang akan memasuki Simalungun atau daerah lainnya di Sumatera
Timur, sekaligus memberikan kemudahan bagi mereka yang akan pindah. Terbukanya
hubungan lalu-lintas sampai ke Kota medan pada tahun-tahun berikutnya
menyebabkan daerah Pematangsiantar menjadi kota transit bagi orang-orang yang
melintas untuk mencari pekerjaan.
Akibatnya, Kota
Pematangsiantar menjadi tempat berbagai suku bangsa, dan itu berkenaan dengan
orang-orang Toba, Karo Mandailing, Jawa, Cina dan sebagainya. Berdasarkan
Stadblad Belanda Nomor 285 tanggal 1 Juli 1917, Pematangsiantar kemudian
berubah menjadi Gemeente yang punya kewenangan otonomi sendiri. Sejak 1 Januari
1939 berdasarkan Stad Blad Nomor 717 Kota Siantar berubah menjadi Gemeente yang
punya Dewan Kota. Pada masa pendudukan Jepang berubah menjadi Siantar State dan
menghapuskan Dewan Kota.
Kemudian setelah
proklamasi kemerdekaan, berdasarkan UU Nomor 22/1948, status Gemeente dirubah
menjadi ibukota Kabupaten Simalungun dan walikotanya dirangkap Bupati
Simalungun hingga tahun 1957. Berdasarkan UU Nomor 1/1957 berubah menjadi
Kotapraja penuh. Dengan keluarnya UU Nomor 18/1965 berubah menjadi Kotamadya
dan berdasarkan UU Nomor 5/1974, tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, resmi
menjadi Kotamadya Pematangsiantar.
Kota
Pematangsiantar terdiri dari 8 kecamatan yaitu:
Siantar Utara
Siantar Barat
Siantar Marihat
Siantar Martoba
Siantar Selatan
Siantar Timur
Siantar Sitalasari
Siantar Marimbun
Sumber:
Wikipedia.com
Bulan April memiliki
arti dan berkah tersendiri bagi warga Kabupaten Simalungun dan Kota Pematangsiantar. Karena setiap bulan April, kedua daerah ini merayakan hari
jadinya masin masing, meski hari dan tanggalnya berbeda.
Dari perhitungan angka
yang ditetapkan, Kabupaten Simalungun lebih dulu ada dari Kota Pematangsiantar.
Hanya saja ada perbedaan perhitungan tahun kesepakatan soal tangal kelahiran.
Peringatan hari jadi Kota Pematangsiantar dihitung mulai dari kelahiran Raja
Siantar Sangnawaluh Damanik, 24 April 1871. Sementara hari jadi Kabupaten
Simalungun, tahun kelahirannya bukan dihitung dari kelahiran seorang raja.
Tetapi dihitung berdasarkan tanggal pembuatan Pustaha Laklak (pustaka kuno,red)
yang ditemukan di Talang Tuo Palembang (Sumatera Selatan), yakni 11 April 1833.
Meski perhitungan dan
tanggal penetapan tersebut masih saja berpeluang untuk dikritisi kembali.
Merujuk fakta sejarah, cikal-bakal Simalungun diperkirakan sudah ada sejak
zaman Kerajaan Nagur, sekitar tahun 500-an. Rajanya bermarga Damanik. Sementara
marga-marga Simalungun lainnya, diperkirakan baru ada di wilayah ini setelah
tahun 1367 pada zaman Kerajaan Purba Desa Nauwaluh (Batak Timur Raya).
Masuknya marga-marga
lain ini jelas beragam versi sejarahnya. Namun salah satunya mengungkapkan
adanya keterkaitan etnik Karo, Melayu dan Pakpak dalam perkembangan marga
Simalungun. Khususnya sejak perkembangan Kerajaan Batak Timur Raya. Sedangkan
marga-marga Toba, Mandailing baru masuk ke Simalungun sekitar tahun 1912 pada
masa penjajahan Belanda. Terutama saat pembukaan persawahan Bah Kora I di
Siantar Sawah sekarang. Simalungun sebelumnya terdiri dari beberapa wilayah
kerajaan. Termasuk Kerajaan Siantar yang akhirnya menjadi ibukota Kabupaten
Simalungun. Dalam perjalanan waktu, Kota Pematangsiantar akhirnya berdiri
sendiri dan berkembang menjadi sebuah daerah otonom yang terpisah dari
Kabupaten Simalungun. Perkembangan itu sarat dengan perjuangan-perjuangan serta
pergumulan-pergumulan silih berganti, termasuk pada masa penjajahan Belanda,
Jepang, zaman kemerdekaan, orde baru hingga era reformasi sekarang.
Tahun 1871 dianggap
sebagai perhitungan tahun berdirinya Kota Siantar, hingga sekarang usianya
sudah 136 tahun. Meskipun sebenarnya dari persfektif historis, tahun 1871 yang
diabadikan menjadi tahun kelahiran Kota Siantar, masih tetap bisa dikritisi
banyak orang. Meskipun Pemko dan DPRD Siantar telah sepakat membuat tahun
kelahiran Sangnawaluh itu menjadi kelahiran Siantar. Hitungannya, saat
dinobatkan menjadi Raja Siantar pada tahun 1888, usianya sudah men
capai 17
tahun.
Yang jadi soal, jika
tahun itu yang jadi acuan, berarti zaman Kerajaan Marropat, di mana Siantar
merupakan salah satu di dalamnya jadi tak ikut dihitung. Padahal Kerajaan
Siantar sudah ada sebelum Raja Sangnawaluh dilahirkan. Karena pada tahun 1833
saja, saat pembentukan Kerajaan Marropat, Siantar sudah ikut di dalamnya.
Meskipun Kerajaan Marropat (Nan Empat) sendiri ternyata tak bertahan lama,
karena satu diantaranya yakni Kerajaan Silou kemudian pecah menjadi empat
Kerajaan, yang terdiri dari Dolok Silou, Raya, Purba dan Silimakuta.
Hal ini mengakibatkan
pada tahun 1904, di Simalungun telah ada 7 Kerajaan yang memiliki kedaulatan
masing-masing. Berdirinya Kerajaan Marpitu boleh dikatakan merupakan kelanjutan
dari Kerajaan Marropat sebelumnya. Saat zaman Kerajaan Marpitu berkuasa,
Kolonial Belanda sudah semakin menancapkan kuku kekuasaannya di Simalungun,
termasuk mempengaruhi Raja-raja Simalungun agar mau tunduk kepada Belanda. Tentu
saja, kehendak Belanda ini mendapat perlawanan dari Raja-raja Simalungun.
Masing-masing Kerajaan
Marpitu itu adalah, Kerajaan Dolok Silou, Kerajaan Silimakuta, Kerajaan Raya,
Kerajaan Purba, Kerajaan Siantar, Kerajaan Panei dan Kerajaan Tanah Jawa.
Setiap kerajaan ini melaksanakan tugas pemerintahannya dipimpin seorang Raja,
dibantu Dewan Kerajaan yang disebut Harajaan, yaitu semacam kabinet yang
terdiri dari pembesar negeri. Kepada mereka diberikan gelar bervariasi menurut
kebiasaan masing-masing kerajaan.
Kerajaan Siantar
sendiri waktu itu sudah dipengaruhi kekuasaan Belanda, hingga akhirnya
menandatangani Perjanjian Pendek dengan Belanda (Korte Verkalring). Namun dari
berbagai sumber sejarah Simalungun diketahui, Sangnawaluh bukanlah merupakan
pendiri Kerajaan Siantar tetapi penerus tahta kerajaan. Karena Sangnawaluh
sudah merupakan pewaris pendahulunya (ketujuh) yang menjadi Raja Siantar pada
tahun 1888. Hal ini merujuk dari silsilah Kerajaan Siantar, diketahui Rajanya
secara berturut-turut adalah Raja Naihorsik – Raja Hitam – Raja Nai Halang –
Raja Namaringis – Raja Namartuah – Raja Mopir – Raja Sangnawaluh – Tuan Torialim
(Tuan Marihat) dan Tuan Riahta Damanik (Tuan Sidamanik).
Kedua Raja Siantar
terakhir inilah yang kemudian melakukan Perjanjian Pendek dengan Belanda
tanggal 16 Oktober 1907. Seterusnya, Kerajaan Siantar dipangku oleh Tuan Riah
Kadim (Tuan Waldemar) dan terakhir hingga meletusnya Revolusi Sosial di
Simalungun 1946, Kerajaan Siantar dipimpin Tuan Sawadim Damanik. Sebenarnya
dapat disebutkan, bahwa sejak adanya Perjanjian Pendek antara Raja-raja
Simalungun dengan Belanda, berakhir pulalah kekuasaan Raja-raja di Simalungun
sekitar tahun 1907. Karena sebelumnya Kerajaan Panei, Raya, Silimakuta, Purba,
Tanah Jawa, Dolok Silou sudah lebih dulu menandatanganinya.
Adapun isi Perjanjian
Pendek itu antara lain: Raja harus mematuhi semua perintah dan peraturan
Gubernur General, Raja harus mengakui kerajaannya menjadi bagian kerajaan
Hindia Belanda, Raja tidak boleh mengadakan hubungan dengan pihak asing, Raja
tidak memiliki wilayah laut dan pantai, Struktur pemerintahan berlaku hukum
adat sepanjang tidak bertentangan dengan peradaban Belanda serta segala sesuatu
harus mendapatkan persetujuan Residen atau wakilnya.
Akibat dari perjanjian
tersebut, makin lemahlah kedudukan Raja-raja Simalungun. Hal ini makin
mempercepat arus penguasaan wilayah Simalungun oleh Belanda yang kemudian
menjadikannya daerah perkebunan. Karena memang, kondisi geografis tanah
Simalungun sangat memungkinkan untuk dijadikan lahan perkebunan.
Controleur Belanda yang
sempat berkedudukan di Perdagangan pada tahun 1907 di pindahkan ke
Pematangsiantar. Sejak itu Kota Pematangsiantar mulai berkembang menjadi daerah
yang banyak dikunjungi pendatang baru. Apalagi, dibukanya jalan-jalan baru ke
luar daerah Simalungun, makin membuat banyak orang berlomba-lomba hijrah ke
daerah ini. Tahun-tahun berikutnya, para pemodal asing membuka lahan-lahan
perkebunan di daerah-daerah sekitar Pematangsiantar.
Hampir bersamaan dengan
pembukaan perkebunan tersebut, pembangunan irigasi juga semakin diintensifkan,
sering dengan makin meningkatnya para petani yang datang dari daerah Tapanuli.
Meskipun perpindahan itu sempat terkendala beberapa waktu akibat berjangkitnya
penakit kolera yang menimbulkan banyak korban jiwa, bahkan menyebabkan sebagian
ada yang kembali ke daerah Tapanuli.
Dibukanya jalan raya
dari Balige ke Pematangsiantar pada athun 1915 memberi arti tersendiri bagi
orang-orang yang akan memasuki Simalungun atau daerah lainnya di Sumatera
Timur, sekaligus memberikan kemudahan bagi mereka yang akan pindah. Terbukanya
hubungan lalu-lintas sampai ke Kota medan pada tahun-tahun berikutnya
menyebabkan daerah Pematangsiantar menjadi kota transit bagi orang-orang yang
melintas untuk mencari pekerjaan.
Akibatnya, Kota
Pematangsiantar menjadi tempat berbagai suku bangsa, dan itu berkenaan dengan
orang-orang Toba, Karo Mandailing, Jawa, Cina dan sebagainya. Berdasarkan
Stadblad Belanda Nomor 285 tanggal 1 Juli 1917, Pematangsiantar kemudian
berubah menjadi Gemeente yang punya kewenangan otonomi sendiri. Sejak 1 Januari
1939 berdasarkan Stad Blad Nomor 717 Kota Siantar berubah menjadi Gemeente yang
punya Dewan Kota. Pada masa pendudukan Jepang berubah menjadi Siantar State dan
menghapuskan Dewan Kota.
Kemudian setelah
proklamasi kemerdekaan, berdasarkan UU Nomor 22/1948, status Gemeente dirubah
menjadi ibukota Kabupaten Simalungun dan walikotanya dirangkap Bupati
Simalungun hingga tahun 1957. Berdasarkan UU Nomor 1/1957 berubah menjadi
Kotapraja penuh. Dengan keluarnya UU Nomor 18/1965 berubah menjadi Kotamadya
dan berdasarkan UU Nomor 5/1974, tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, resmi
menjadi Kotamadya Pematangsiantar.
Kota
Pematangsiantar terdiri dari 8 kecamatan yaitu:
Siantar Utara
Siantar Barat
Siantar Marihat
Siantar Martoba
Siantar Selatan
Siantar Timur
Siantar Sitalasari
Siantar Marimbun
Sumber:
Wikipedia.com