Oleh: Jemie Simatupang
SELAMAT DATANG (kembali) di Siantar. Ini adalah perjalanan saya yang kesekian kali ke kota ini. Turun dari Bus INTRA (info: dari Medan ke Siantar ditempuh dengan perjalanan sekitar 3 jam dengan bus: 128 KM), ingatan saya malah ke lembar-lembar ”Mengabdi Republik”-nya Adam Malik. Ya, di sinilah dulu Orang Siantar itu memulai karir, jadi wartawan, politisi otodidak, dan akhirnya marak menjadi wakil presiden—mendampingi Soeharto—di Jakarta sana. Terlepas dari pro kontra kalau ia adalah agen CIA, agen Amerika, saya pikir ini baru Orang Siantar! Siantar Man (baca: men)!
Bukan dalam pengertian preman, tukang palak, tukang kompas, tukang copet, ... Lamunan saya dipecahkan suara dut...dut...dut.... persis suara mesin perahu nelayan merek Dompeng. Saya hapal itu suara apa. Inilah suara becak bermotor (mesin) Siantar. Tak ada duanya di Indonesia, bahkan bisa jadi di dunia. Satu per satu becak itu melintas menawarkan jasa untuk mengantarkan orang ke tempat tujuan di seputaran Siantar. Apa yang khas dari moda jenis ini? Becak Siantar menggunakan motor BSA (British Small Arm). Motor gede (besar) dengan kekuatan 350 CC.
Konon motor-motor ini adalah peninggalan pasukan sekutu—Inggris—ketika Perang Dunia II berlangsung. Yang lain merupakan peninggalan perusahaan kebun Eropa yang ada di sekitar Siantar. Kami—saya dan seorang teman yang ikut dalam perjalanan tugas kali ini—stop (memberhentikan) sebuah becak. Saya tanyakan sebuah alamat dan berapa ongkos ke alamat itu. Setelah bernego(isasi) akhirnya disepakati ongkos Rp.15.000,- Kami bergegas naik, dan mencoba menikmati perjalanan dengan becak unik ini: meninggalkan Terminal Perluasan menuju jalan Merdeka ... Wah, rasanya memang beda dibandingkan membonceng dengan beca biasa—yang ada di Medan. Suspensi—atau per ya?—sangat lembut. Mengayun-ayunkan penumpang. Bak penumpang sangat aman. Kokoh. Dilengkapi kaca depan layaknya mobil, sehingga jangan khawatir ada abu yang hinggap ke mata seperti kalau menumpang becak biasa. Lebihnya: kita merasa gagah menumpang motor ini. Menambah informasi soal bacak ini, saya tanyakan ke tukang becak yang sedang tekun mengendalikan kendaraannya itu. ”Bang, uda berapalama narik?” ”Lama. Dari tahun 80’an,” jawab lelaki paruh baya itu. ”Lama juga ya,” kata saya, ”Bang, kira-kira berapa unit lagilah becak macam punya abang ini di Siantar?” ”Udah tinggal sikit (maksudnya: sedikit). Paling 600 lagi” ”Wah, masih banyak itu Bang!” ”Sikitlah! Dulu jumlahnya lebih dari 2000 unit!” ”Mak! Terus kemana yang lain rupanya, Bang?” Lelaki itu menjawab kalau becak-becak itu banyak diburu kolektor. Mereka datang dari berbagai daerah: tidak hanya dari Sumatera tapi sampai Jawa sana. Bahkan menurutnya ada yang datang dari luar negeri. Mereka berani membayar kendaraan ini dengan harga mahal. Satu becak menurutnya yang belum dipermak berharga Rp.20 juta tapi kalau sudah jadi, sudah dimodifikasi bisa berharga sampai Rp.45 juta. ”Tapi sekarang tak boleh dijual keluar lagi!” katanya. ”Kenapa?” ”Ini kan menjadi ciri khas Siantar. Jadi pariwisata sekaligus sejarahnya siantar.” katanya. Tapi menurutnya dulu pernah satu kali pejabat disana (DPR) merancang perda yang akan menggusur becak-bacak ini.
Pejabat itu mengusulkan dengan becak model baru buatan jepang. Kebijakan ini kontan dilawan oleh para tukang becak di sana. ”Akh, sama saja: pejabat dimana-mana kok hobbynya menggusur!” kata saya, ”Apa enaknya narik becak ini, Bang?” kata saya mengalihkan pembicaraan. ”Bebas!” ”Maksudnya?” ”Polisi tak mau menangkap! Tengok saya ini: tak pakai helm kan?” katanya terkekeh. ”Itu belum apa-apa saya tak punya SIM, becak ini juga tak ada surat-suratnya (maksudnya STNK), kan mereka tahu ini beca pariwisata--becak sejarah!” ”Walah! Kumat Orang Siantarnya!” geli saya dalam hati (saja). Sekira 15 menit perjalanan kami pun sampai ditempat yang dituju. Kami turun dan membayarkan ongkos. Dia pun mengucapkan terimakasih sambil berlalu meninggalkan suara: dut...dut...dut....[*]
No comments:
Post a Comment